10.30.2008

Menjadi Ibu Rumah Tangga, Berani?

Seorang sahabat mengungkapkan rencananya untuk mengundurkan diri dari
perusahaan tempat kerjanya. Ia merasa tidak takut meninggalkan karirnya
yang sudah belasan tahun dirintisnya dari bawah. "sayang juga
sebenarnya, dan ini merupakan pilihan yang berat, terlebih ketika saya
merasa sudah berada di puncak karir, " ujarnya.

Lalu ke mana setelah resign? "yang ada di pikiran saya saat ini hanya
satu, menjadi ibu rumah tangga. Sudah terlalu lama saya meninggalkan
anak-anak di rumah tanpa bimbingan maksimal dari ibunya. Saya sering
terlalu lelah untuk memberi pelayanan terbaik untuk suami. Bahkan
sebagai bagian dari masyarakat, saya sangat sibuk sehingga hanya sedikit
waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga dan warga sekitar"

Tapi, ibu nampaknya masih ragu? "bukan ragu. Saya hanya perlu menata
mental sebelum benar-benar mengambil langkah ini".

"Rasanya masih malu jika suatu saat bertemu dengan teman-teman sejawat
atau rekan bisnis. Saya belum menemukan jawaban yang pas saat mereka
bertanya, "sekarang Anda cuma jadi ibu rumah tangga?"

Saya tersenyum mendengarnya, mencoba memahami kesesakan benaknya saat
itu. Teringat saya dengan seorang sahabat lama yang saat di sebuah forum
wanita karir di Jerman lantang menjawab, "profesi saya ibu rumah tangga,
jika di antara para hadirin ada yang mengatakan bahwa ibu rumah tangga
bukan profesi, saya bisa menjelaskan secara panjang lebar betapa
mulianya profesi saya ini dan tidak cukup waktu satu hari untuk
menjelaskannya".

Luar biasa. Sekali lagi luar biasa. Saya harus hadiahkan acungan jempol
melebihi dari yang saya miliki untuk sahabat yang satu ini. Saya
tuturkan kisah ini kepada sahabat yang sedang menata hati meyakinkan
diri untuk benar-benar menjadi ibu rumah tangga, bahwa ia takkan pernah
menyesali pilihannya itu. Kelak ia akan menyadari bahwa langkahnya itu
adalah keputusan terbaik yang pernah ia tetapkan seumur hidupnya.

Naluri setiap wanita adalah menjadi ibu. Adakah wanita yang benar-benar
tak pernah ingin menjadi ibu? Percayalah, pada fitrahnya wanita akan
lebih senang memilih berada di rumah mendampingi perkembangan
putra-putrinya dari waktu ke waktu. Menjadi yang pertama melihat si
kecil berdiri dan menjejakkan langkah pertamanya. Ia tak ingin anaknya
lebih dulu bisa berucap "mbak" atau "bibi" ketimbang ucapan "mama". Tak
satupun ibu yang tak terenyuh ketika putra yang dilahirkan dari rahimnya
lebih memilih pelukan baby sitter saat menangis mencari kehangatan.

Ibulah yang paling mengerti memberikan yang terbaik untuk anaknya,
karena ia yang tak henti mendekapnya selama dalam masa kandungan.
Sebagian darahnya mengalir di tubuh anaknya. Ia pula yang merasakan
perih yang tak tertahankan ketika melahirkan anaknya, saat itulah
kembang cinta tengah merekah dan binar mata ibu menyiratkan kata, "ini
ibu nak, malaikat yang kan selalu menyertaimu". Cintapun terus mengalir
bersama air kehidupan dari dada sang ibu, serta belai lembut dan kecupan
kasih sayang yang sedetik pun takkan pernah terlewatkan.

Ibu akan menjadi apapun yang dikehendaki. Pemberi asupan gizi, pencuci
pakaian, tukang masak terhebat, perawat di kala sakit, penjaga malam
yang siap siaga, atau pendongeng yang lucu. Kadang berperan sebagai
guru, kadang kala jadi pembantu. Jadi apapun ibu, semuanya dilakukan
tanpa bayaran sepeserpun alias gratis



Tidak ada komentar: